CAGAR BUDAYA. Sebuah papan nama yang sudah cukup tua masih berdiri di area Masjid Tua Al-Hilal Katangka, Gowa. Meskipun papannya sudah cukup tua, tetapi tulisan "Benda Cagar Budaya Makam dan Mesjid Kuno Katangka" masih jelas terbaca. Foto ini diabadikan pada Sabtu, 1 November 2014. (Foto: Asnawin)
-----------------
Masjid Tua Katangka dan Makam Raja Gowa
Oleh: Asnawin
Masjid Tua Al-Hilal, di Katangka, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, sudah lama dimasukkan sebagai salah satu benda cagar budaya. Begitu pun dengan Makam Keluarga Keturunan Raja Gowa yang berada di areal yang sama.
Masjid dan makamnya masih cukup terawat, tetapi jamaah atau pengunjungnya relatif kurang. Di areal masjid dan makam, memang ada semacam sekretariat atau kantor, yang juga difungsikan sebagai kantin, tetapi keadaannya juga sepi.
Kondisi itulah yang memicu kami membuat tulisan tentang Masjid Tua Katangka. Melalui tulisan ini, kami ingin mengajak pemerintah (Pemkab Gowa) dan masyarakat untuk melakukan sesuatu, agar masjid dan benda cagar budaya ini dapat terangkat kembali ke permukaan, menjadi pembicaraan luas, serta dijadikan sebagai objek penelitian dan objek wisata yang ramai dikunjungi orang, termasuk wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara.
Situs web wikipedia, menyebutkan bahwa Masjid Al-Hilal atau lebih dikenal dengan nama Masjid Katangka adalah salah satu masjid tertua di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.
Dinamakan Masjid Katangka karena berlokasi di kelurahan Katangka, kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Selain itu, masjid ini disebut Katangka, karena bahan baku dasar dari masjid tersebut diyakini diambil dari pohon katangka.
Penggiat lingkungan hidup sekaligus pendiri Rumah Hijau Denassa, Darmawan Denassa, di Kabupaten Gowa, Sulsel, mengatakan, pohon katangka kini sangat sulit dijumpai di Sulsel. Dari penelusurannya, Darmawan mengaku hanya bisa menemukan 10 batang pohon katangka yang tersisa di wilayah selatan Sulawesi Selatan.
”Padahal, kayu pohon katangka dipercayai masyarakat Makassar sebagai kayu kehormatan,” katanya, seperti dikutip dari situs web batukarifo.com.
-----------
TAHUN 1603. Pada dinding luar bagian belakang masjid, terdapat sebuah prasasti yang tertulis "Mesjid Tertua di Sulsel, 1603", serta sebuah prasasti rehabilitasi Masjid Tua Katangka, yang ditandatangani Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Dr Haryati Soebadio, pada 8 Februari 1981. (Foto: Asnawin)
---------------------
Dibangun pada 1603
Masjid Tua Katangka dibangun pada tahun 1603. Itulah yang tertulis pada salah satu prasasti yang ditempelkan pada dinding luar bagian belakang masjid.
Memang ada sejarawan yang meragukan tahun pembuatannya itu (1603), bahkan ada sejarawan yang memperkirakan masjid ini dibangun pada abad ke-18, tetapi satu hal yang perlu diketahui, yaitu masjid dibangun pada masa peemrintahan Raja Gowa Sultan Alauddin, yang memerintah pada tahun 1593 hingga wafatnya pada 15 Juni 1639.
Sultan Alauddin yang bernama lengkap I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna (yang mangkat dalam kebesaran kekuasaannya), adalah Raja ke-14 Kesultanan Gowa, dan Raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam, sekaligus menetapkannya sebagai agama kerajaan.
Dengan dasar itulah, maka informasi atau data yang menyebutkan bahwa Masjid Tua Katangka dibangun pada tahun 1603, memang dapat dipertanggungjawabkan.
Masjid Tua Al-Hilal Katangka dulunya merupakan masjid Kerajaan Gowa. Letak masjid berada di sebelah utara kompleks makam Sultan Hasanuddin. Lokasi makam yang diyakini sebagai tempat berdirinya Istana Tamalate, istana raja Gowa ketika itu. Sebuah jalan yang dikenal sebagai Batu Palantikang, merupakan jalan yang sering dilintasi raja dan keluarganya menuju masjid.
------------------
ARSITEKTUR. Masjid Katangka didirikan di atas lahan sekitar 150 meter persegi. Masjid ini memiliki ciri khas seperti memiliki satu kubah, atap dua lapis menyerupai bangunan joglo. Bangunan ini juga memiliki empat tiang penyangga, yang berbentuk bulat dan memiliki ukuran yang besar dibagian tengah. (Foto: Asnawin)
--------------------
Arsitektur Masjid
Masjid Katangka didirikan di atas lahan sekitar 150 meter persegi. Masjid ini memiliki ciri khas seperti memiliki satu kubah, atap dua lapis menyerupai bangunan joglo. Bangunan ini juga memiliki empat tiang penyangga, yang berbentuk bulat dan memiliki ukuran yang besar di bagian tengah.
Jendela masjid ini berjumlah enam serta memiliki lima pintu. Atap dua lapis berarti dua kalimat syahadat, empat tiang berarti empat sahabat nabi, jendela bermakna rukun iman ada enam dan lima pintu bermakna rukun Islam.
Bagian kubah dipengaruhi oleh arsitektur Jawa dan lokal, tiang dipengaruhi oleh budaya Eropa, sedangkan bagian mimbar sangat kental dengan pengaruh kebudayaan China, ini terlihat pada atap mimbar yang mirip bentuk atap klenteng. Di sekitar mimbar juga masih terpasang keramik dari Cina yang konon dibawa oleh salah satu arsiteknya yang berasal dari sana.
Ciri khas lainnya, dan ini terjadi di hampir seluruh bangunan kuno adalah pada bagian dinding yang terbuat dari batu bata itu cukup tebal, yakni mencapai 120 sentimeter (cm). Penyebab utamanya karena masjid ini juga pernah dijadikan sebagai benteng pertahanan saat Raja Gowa melawan penjajah.
Atap masjid dulunya bertingkat tiga dari bahan genteng. Antara atap mesjid tingkat dua dan tiga terdapat pemisah berupa ruangan berdinding tembok dengan jendela di keempat sisinya. Di puncak mesjid terdapat mustaka.
Bila dilihat dari foto tua Dari sumber KITLV Leiden, disebut dengan tulisan: Grote moskee van Gowa, vermoedelijk te Makassar 1910. ternyata Masjid Tua Al-Hilal dulunya memiliki menara dan sekarang menara di masjid itu telah hilang.
---------------
TOMBAK. Di kedua sisi mimbar atau mihrab, terdapat masing-masing sebuah tombak atau lembing. Konon lembing ini dulunya dipegang oleh pengawal kerajaan untuk menjaga khatib dari jamaah yang selalu ingin berebutan menggigit naskah yang dibacakan khatib saat berceramah. (Foto: Asnawin)
-------------------
Tombak di Sisi Mihrab
Di kedua sisi mihrab atau mimbar, terdapat masing-masing sebuah tombak atau lembing. Kedua tombak atau lembing ini diikatkan bendera yang bertuliskan kalimat syahadat.
Konon di masa lalu, setiap pelaksanaan sholat jumat di masjid ini, khatib yang bertugas membacakan naskah khotbah dikawal dan dijaga oleh dua prajurit Kerajaan Gowa. Dua prajurit masing-masing memegang tombak itu bertugas mengawal dan menjaga khatib di atas mimbar, serta menghalau jemaah shalat Jumat yang biasanya berlomba-lomba menggigit ujung naskah khotbah yang tengah dibacakan sang khatib.
Waktu itu, orang-orang percaya bahwa barang siapa yang mampu menggigit ujung naskah khotbah yang terbuat dari gulungan daun lontara, maka orang itu akan menjadi sakti dan kebal terhadap ujung senjata tajam jenis apapun.
Akibat munculnya kepercayaan tersebut, maka shalat Jumat selalu berakhir kacau oleh jamaah yang berebutan menggigit ujung naskah khotbah yang dibacakan sang khatib.
Raja Gowa, I Mangngarangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Alauddin, kemudian mengutus dua prajurit bertombak untuk menjaga dan mengawal khatib serta menghalau jamaah yang berebutan ingin menggigit ujung naskah khotbah itu.
Lama kelamaan seiring pemahaman masyarakat Gowa terhadap Islam semakin baik, dan kepercayaan tersebut sedikit demi sedikit berangsur hilang, maka khatib tidak lagi dikawal oleh prajurit, namun replika lembing atau tombak milik prajurit kerajaan tetap dipasang di sisi kiri dan kanan mihrab.
Renovasi
Masjid ini telah mengalami enam kali renovasi. Pertama pada tahun 1816, atau pada masa Raja Gowa XXX atas nama Sultan Abd Rauf. Kemudian pada 1884, yang dilakukan oleh Raja Gowa XXXII, Sultan Abd Kadir. Berturut-turut kemudian pada tahun 1963 oleh Gubernur Sulsel, tahun 1971 oleh Kanwil Dikbud Sulsel, tahun 1980, Swaka Sejarah dan Purbakala sulsel dan terakhir tahun 2007. Pada renovasi terakhir, itu dilakukan atas swadaya dari pengurus masjid dan bantuan dari masyarakat.
Benda Cagar Budaya
Masjid Tua Al-Hilal terdaftar sebagai benda cagar budaya Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, dengan nomor urut inventaris 98, serta sudah ditetapkan sebagai benda cagar budaya nasional melalui surat keputusan Nomor : 240/M/1999, tanggal 4 Oktober 1999, oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Juwono Sudarsono.
----------------------
KOMPLEKS Makam Keturunan Raja Gowa terdapat di areal Masjid Tua Katangka, Gowa. Pemakaman dan masjid ini memang punya jalan tembus ke pemakaman Raja Gowa Sulthan Hasanuddin. (Foto: Asnawin)
----------------
Makam Keturunan Raja Gowa
Di areal masjid, terdapat pemakaman. Makam yang ada di areal masjid terdiri atas Makam Keluarga Keturunan Raja Gowa, serta makam pemuka agama dan kerabat pendiri masjid. Khusus makam para pendiri masjid memiliki atap di atasnya berbentuk kubah, sedangkan makam keluarga keturunan Raja Gowa ditandai dengan pemasangan papan bicara.
Wisata Budaya Religi
Dengan sejarahnya yang cukup panjang, dengan eksistensinya sampai sekarang, maka sesungguhnya, Masjid Tua Katangka yang dikelilingi pemakaman ini, termasuk Makam Keluarga Keturunan Raja Gowa, dapat menjadi objek wisata budaya religi, serta menjadi objek penelitian bagi para sejarawan dan penulis buku.
Untuk itulah, perlu ada keseriusan dari pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten Gowa, menjadikan Masjid Tua Katangka sebagai objek wisata, dengan membuat program tahunan pemeliharaan dan promosi, agar mampu menarik minat wisatawan lokal, wisatawan nusantara, dan wisatawan mancanegara, serta para sejarawan dan peneliti.
------------------------------------
Sumber referensi:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Katangka
- http://www.batukarinfo.com/news/puluhan-tanaman-endemis-sulsel-terancam-punah
- http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Alauddin_Tuminanga_ri_Gaukanna
- http://bujangmasjid.blogspot.com/2010/08/masjid-tua-al-hilal-katangka-masjid.html
- http://saprisamone.blogspot.com/2013/11/sejarah-masjid-katangka.html
-
-
No comments:
Post a Comment